Home » » Resolusi Sukses

Resolusi Sukses



Mungkin sah-sah saja kalau banyak orang yang mengartikan kesuksesan dengan pencapaian materi dengan berbagai simbol dan representasinya. Sah karena memang faktanya materi termasuk variabel utama bagi kelangsungan hidup kita. Kata orang, uang atau materi memang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya butuh uang.


Dikatakan sah juga karena memang tidak ada alasan hukum untuk menyalahkannya. Yang bisa mengatakan itu pas atau kurang pasnya bukan alasan hukum, namun perkembangan peradaban dan nalar-spiritual masyarakat. Mungkin suatu saat masyarakat kita tidak lagi menjadikan pencapaian materi sebagai ukuran tunggal kesuksesan.

Harta dengan berbagai simbol dan representasinya itu sebetulnya bukanlah makhluk yang a-spiritual. Tuhan sendiri menyebutnya sebagai alat untuk kebaikan. Yang selalu diingatkan adalah cara mendapatkannya, cara memahaminya, dan cara penggunaannya. Jadi, intinya bukan pada materinya dan berbagai simbolnya itu, melainkan lebih pada the way we use.


Mengaudit Cara Mendapatkan

Selain ada dua cara yang sudah sama-sama kita ketahui dalam mendapatkan kesukesan, yaitu cara benar dan cara menyimpang, ada lagi cara-cara yang mungkin perlu kita audit. Ini mumpung masih dalam suasana tahun baru. Mudah-mudahan dengan inisiatif ini, kualitas hidup kita menjadi semakin lebih baik. 

Pertama, apakah kesuksesan itu kita dapatkan dengan cara-cara yang juga ikut mensukseskan orang lain? Apakah selama ini kesuksesan itu kita dapatkan dengan cara mengoptimalkan penggunaan potensi / kompetensi pribadi dan orang lain? Apakah kita sudah menggunakan cara-cara "empowering"?

Kalau cara itu yang sudah sering kita lakukan, berarti kita sudah berada di track yang tepat. Tugas kita adalah mempertahankan dan meningkatkan. Pesan yang perlu kita ingat adalah: "even the best, it must be improved", meski sudah baik namun harus tetap diperbaiki.

Kedua, apakah kesuksesan itu kita dapatkan dari pemberian atau penganugerahan, by being inaugurated / given? Misalnya, orangtua kita mewariskan berbagai aset dan pengaruh yang cukup besar sehingga kita merasa kesuksesan kita itu bukan karena kompetensi, tetapi karena legacy (warisan). 

Atau juga misalnya kita bekerja di perusahaan besar, mapan, dan punya nama. Dengan berbagai peranan yang diberikan kepada kita lalu kita merasa kesuksesan yang kita dapatkan itu sebetulnya adalah semu. Maksudnya, yang lebih berperan di situ bukan kompetensi kita sebagai pribadi, tetapi pengaruh organisasi. 

Jika perasaan itu yang sering muncul, yang tepat untuk kita lakukan adalah bersyukur. Dalam "ilmu Tuhan" tidak ada kebetulan yang sifatnya benar-benar kebetulan. Kita menjadi anak orang hebat itu bukan kebetulan. Kita bekerja di perusahaan mapan itu bukan kebetulan. Semua terjadi karena ada alasan dan tujuan.

Cuma, yang perlu kita audit adalah skala kesyukuran kita. Skala yang paling tinggi adalah ketika kita mampu menggunakan resource dan potensi yang ada untuk mencapai tujuan yang selalu lebih besar, lebih tinggi dan lebih positif dengan cara-cara yang positif. Skala yang paling rendah adalah ketika kita hanya mampu bersyukur dengan mulut dan kata-kata.

Ketiga, apakah kesuksesan itu selama ini kita dapatkan dengan cara-cara memperdaya orang lain dan keadaan, by politicking? Di rubrik Surat Pembaca koran ibukota, sering saya membaca curhat beberapa pelajar senior kita yang ada di luar negeri. Mereka dilematis.

Satu sisi, mereka dipanggil-panggil oleh nasionalisme-nya untuk kembali ke Indonesia, menerapkan ilmunya di sini. Tapi di sisi lain, mereka takut. Kesuksesan (pencapaian materi) di sini kerap tidak berbanding lurus dengan kompetensi. Banyak orang yang bisa meraih kekayaan karena kecanggihannya dalam bermain politicking, bukan karena empowering atau actualizing.

Tradisi politicking di kita memang sudah cukup gila, dari mulai KKN, suap tender, penyalahgunaan kekuasaan, dll. Bahkan sudah mau hampir terbangun keyakinan kolektif bahwa tanpa politicking, rasa-rasanya susah kita men - down load kesuksesan dengan cepat dan mudah.


Menggeser Motif

Yang benar-benar perlu kita audit adalah poin nomor tiga itu. Apa bisa kita bersih dari praktek politicking? Bersih dalam arti benar-benar bersih tanpa noda, mungkin itu butuh proses panjang. Yang mendesak adalah melakukan perbaikan bertahap (keizen) dari kesadaran-diri.

Pertanyaannya, kesadaran seperti apa yang penting di sini? Salah satunya adalah kesadaran menggeser motif, dari yang negatif (minus) ke yang positif (plus). Memang, seperti kata Spencer (1993), motif itulah yang sering sanggup menyeleksi tindakan kita, apakah kita akan menggunakan politicking atau empowering.

Motif sendiri adalah dorongan (need or desire) yang membuat orang melakukan sesuatu (Merriam Webster̢۪s). Motif di sini netral sifatnya, bisa negatif dan bisa positif, tergantung kitanya. Kalau mengacu ke konsepnya Zohar dan Marshall (2004), ada sejumlah motif negatif yang perlu kita geser agar tidak selalu menggunakan politicking dalam meraih kesuksesan.

Pertama, penonjolan diri (riya). Ini negatif. Kalau kita mengejar kesuksesan karena motif supaya bisa menonjolkan diri, lama-lama politicking. Supaya tidak kebablasan, perlu kita geser ke eksplorasi diri. Artinya, kita mengejar kesuksesan dengan motif untuk mengeksplosi potensi kita dan potensi orang lain (by empowering).

Kedua, kemarahan (reaksi negatif). Jika kita mengejar kesuksesan karena dendam dan marah oleh perilaku orang yang lebih kaya, lama-lama kita melihat manusia sebagai musuh atau lawan. Ini yang pernah menimbulkan penjarahan tahun 1998 lalu. Lebih baik kita geser ke motif untuk bekerjasama atau membangun kemitraan yang sinergis dan beradab.

Ketiga, keserakahan. Motif negatif ini timbul karena kita mengalami kekosongan nilai-nilai spiritual. Serakah akan memudahkan kita melakukan politicking. Sampai pun kita sudah kaya, tetap saja ingin memiskinkan orang lain atau merasa kurang. Akan lebih bagus bila kita ganti dengan motif untuk membangun kekuatan diri dari dalam, misalnya dengan menjadi orang yang lebih berwawasan spiritual.

Keempat, rasa takut. Takut digeser, takut tidak dipromosikan, takut tidak diperpanjang kontrak, takut dibilang tidak kaya, dll, akan memudahkan kita bermain politicking. Lebih bagus itu kita kendalikan lalu kita geser ke motif untuk membangun keahlian, baik mental, teknis, atau profesional. Pasti hasilnya lebih OK. 

Kelima, keresahan. Jika motif negatif ini terus menguasai kita, lama-lama kita politicking. Kita merasa sudah buntu untuk memilih cara-cara hidup yang positif. Akan lebih bagus segera kita geser ke motif untuk memunculkan kreativitas sehingga pikiran kita tidak buntu. Masih ada banyak hal yang bisa kita lakukan, yang bisa membuat hidup kita lebih OK, asal kreatif.

Keenam, apati. Apati di tempat kerja akan membuat kita masa bodoh terhadap kepentingan dan kemaslahatan orang banyak / organisasi sehingga membuat kita gampang ber-politicking. Akan bagus bila segera kita geser ke motif pengabdian, misalnya kita bekerja untuk aktualisasi diri, ibadah, berperan bagi orang lain, dan seterusnya.

Ketujuh, malu dan rasa bersalah. Motif ini timbul karena kita merasa tak bermakna apa-apa bagi diri sendiri dan orang banyak sehingga memudahkan kita melakukan politicking. Supaya tidak berlanjut, segera kita ganti dengan memunculkan berbagai motif positif yang dapat membuat hidup kita bermakna bagi diri sendiri dan orang lain.

Kedelapan, depersonalisasi. Ini timbul karena kita sudah mengabaikan berbagai pegangan hidup sehingga tidak ada lagi koordinasi antara hati, ucapan, keinginan, dan tindakan. Kita sudah ngawur, benar-benar memainkan politicking yang kotor. Karena itu, segera kita ganti dengan memunculkan motif untuk menemukan pencerahan dari berbagai sumber.


Kehendak, Konsistensi, Dan Lokasi

Syarat mutlak untuk bisa menggeser motif itu adalah kehendak (the will) dan meyakini bahwa segalanya lahir dari kehendak. Kenapa ini penting? Banyak orang yang gagal menggeser motif karena yang dijadikan syarat untuk berubah bukan kehendak, melainkan kenyataan. 

Dalam prakteknya, pasti tidak ada kesimpulan yang tunggal: apakah kenyataan yang menciptakan kita atau kita yang menciptakan kenyataan. Pasti dua-duanya saling berdialog. Hanya, jika kita ingin berubah, kita harus memilih kesimpulan bahwa kitalah yang menciptakan kenyataan. Ini hanya strategi mental saja.

Selain kehendak, yang perlu kita perhatikan lagi adalah tingkat konsistensi. Kalau anak-anak, jam ini dia baik, tetapi sejam kemudian dia berubah, ini masih wajar dan belum menjadi ukuran. Tapi kalau orang dewasa, ini menjadi ukuran penting dari sebuah hasil (kinerja).

Artinya, bergesernya motif dari minus ke plus itu baru akan memberikan hasil yang berbeda apabila kita melakukannya dengan konsistensi yang tinggi. Untuk bisa memiliki konsistensi yang tinggi, syaratnya adalah kembali pada keyakinan di atas: kehendaklah yang menciptakan kenyataan (internal locus of control), bukan sebaliknya.

Nah, karena kita manusia, bukan malaikat, maka kita tetap membutuhkan dukungan dari faktor eksternal. Kalau kita beraktivitas di lingkungan yang tingkat politicking-nya tinggi, memang ini lebih sulit untuk membersihkan diri dari berbagai motif politicking. Karena itu, kita butuh lokasi, area industri, dan komunitas yang mendukung.

Namun, satu hal yang perlu kita ingat bahwa dukungan faktor eksternal itu bisa menyusul sifatnya. Bahkan dalam prakteknya, ia lebih sering datang sendiri setelah ada kehendak yang kuat dan konsistensi yang tinggi. Kalau kita ingin menjadi baik, tapi yang kita cari orang lain yang baik lebih dulu, ini biasanya susah. Akan lebih mudah kalau kita menjadi orang baik lebih dulu.


Tiada yang mutlak

Patokan apapun yang kita jadikan ukuran kesuksesan itu, mau kekayaaan, kekuasaan, kehebatan, atau apapun, hendaknya tetap kita pahami sebagai sebuah potensi atau ujian yang bisa menaikkan derajat kita dan bisa menurunkannya, tergantung the way we use. Selain itu, perlu kita pahami juga sebatas sebagai kenisbian, yang merupakan sifat kita, bukan sebagai kemutlakaan. Tidak bisa kita mengatakan kekayaan harta itu tidak penting, yang penting adalah ketakwaan. Ini sifat malaikat. Sama juga tidak bisa kita mengatakan harta kekayaan itu segala-galanya bagi ukuran kesuksesan kita. Ini sifat setan yang memutlakkan materi. Semoga bermanfaat.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AL-ISLAM - AL JANNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger